Pengantar: Saat Jantung Merasa Berbeban Berat

Di kehidupan ini, seringkali kita mengalami perasaan memikul bebannya sangat memberatkan. Baik itu sebagai orangtua, putra atau putri, pendidik, ataupun kakak maupun adik — sesekali kita memiliki rasa tanggung jawab penuh akan segala hal yang ada dalam lingkungan kita.

Saat seseorang yang kita sayangi melakukan kesalahan, kita sering kali merasa bertanggung jawab. Ketika putra atau putri kita tidak mau menuruti nasehat, kita berpikir telah gagal sebagai orang tua. Akan tetapi, Al-Quran menyampaikan pesan dengan cara yang amat lembut serta penuh belas kasihan bahwa sebenarnya:

“Orang yang bersalah tidak akan dituntut dengan dosa orang lain.” (QS. Fatir: 18)

Ayat ini bagai embun yang membasahi hati. Ini menggarisbawahi bahwa tiap individu memiliki tanggung jawab pribadi. Di lingkungan rumah, di tengah masyarakat, serta dalam urusan dakwah — penting bagi kita untuk memahami batasan antara kewajiban kita sebagai penasihat dan keputusan Allah dalam memberikan petunjuk.

Arti dan Pelajaran dari QS. Fatir: 18-23: Renungan Mengenai Kewajiban Individu

Di dalam surah Fatir ayat 18 sampai 23, Allah menjelaskan konsep kesetaraan dan keadilan-Nya: bahwa tiada yang dapat membawa beban dosa orang lain. Setiap individu nantinya akan dikembalikan kepada Tuhan berdasarkan usaha masing-masing. Ibu bapak tidak bisa melindungi anak-anaknya secara mutlak hanya karena ikatan kelahiran. Demikian pula, anak-anak juga tidak sanggup memberi balasan atas kerelaan tanpa adanya ketundukan terhadap aturan-Nya, bukan semata-mata lewat penghargaan dunia seperti julukan atau pencapaian material.

“Dan tidaklah seseorang yang berdosa memikul dosa orang lain, dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu sedikit pun dari (beban) itu tidak akan dipikul oleh orang lain…”(QS. Fatir: 18)

Tuhan berfirman bahwa memberi peringatan dan mengundang orang lain untuk menuju kebajikan merupakan tanggung jawab kita, tetapi dampak dari tindakan tersebut bukan menjadi hal yang harus dikhawatirkan oleh diri kita.

“Sejatinya kamu hanya penasihat.” (QS. Fatir: 23)

Inilah sebuah pembelajaran yang mendalam, khususnya untuk para orangtua yang terkadang merasa tidak berhasil lantaran sang buah hati belum tentu sebaik apa yang mereka impikan.

Tugas Kita: Menyampaikan, Bukan Memaksa

Terkadang kita merasa letih. Setelah berkali-kali memberi nasihat kepada anak untuk menjadi lebih disiplin dalam shalat, bersikap lebih bijaksana saat bergaul, atau tampil lebih santun ketika bicara, yang didapat malah penolakan, keterlambatan, atau bahkan sikap cuek. Seperti berusaha mengomunikasikan sesuatu dengan tembok. Akhirnya pertanyaan muncul, “Apakah kesalahanku?” atau bahkan terdengar pahit, “Bukankah ini tandanya aku telah gagal sebagai seorang ibu/bapak?”

Namun Al-Qur’an, dengan kelembutannya, menghibur hati para orang tua yang sedang berada di tepi keputusasaan. Allah berfirman:

Sejatinya kamu hanya penasehat.

(QS. Fatir: 23)

Ayat ini tak sekadar diperuntukkan bagi Rasulullah, tetapi juga pada tiap orangtua, guru, kakak, serta semua pihak yang tengah berupaya mendorong perilaku baik. Peran kita hanyalah menyampaikan pesan; kita tidak dapat memaksakan perubahan dalam hati seseorang, termasuk anak kandung kita sendiri. Pasalnya, Yang Maha Menggerakkannya ialah Allah sejagad raya.

Menjadi guru mirip dengan proses bertani. Kami menyebarkan biji-bijian baik melalui nasehat, contoh perilaku, doa, serta pengawasan. Namun kami tidak dapat mendesak tanaman ini untuk bergerak sesuai jadwal yang diinginkan. Kadang-kadang, bijinya hanya mulai berkembang saat kami telah lanjut usia, atau mungkin juga selepas kematian kami. Tetap percayalah bahwa semua amalan positif yang disemai secara ikhlas pastilah tidak bakal sia-sia.

Dalam Realitas Sehari-Hari…

Menerapkan prinsip ini dalam kehidupan nyata bukanlah perkara mudah. Tapi bukan berarti mustahil. Mari kita refleksikan:

Daripada menyalahkan, mari kita bercermin.

Mungkin bukan anak kita yang keras kepala, tapi kita yang belum cukup lembut menyentuh hatinya. Atau bisa jadi, kita terlalu sering menuntut tanpa cukup hadir secara emosional. Bertanyalah dengan jujur: Apa yang bisa aku benahi dalam diriku sendiri?

Didik anak dengan nilai tanggung jawab sejak dini.

Biarkan mereka tahu bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Bahwa orang tua hanya bisa menuntun, bukan menyetir hidup mereka sepenuhnya. Semakin awal anak memahami tanggung jawab atas pilihan hidupnya, semakin dewasa ia dalam bersikap.

Jangan terlalu keras pada diri sendiri.

Kadang kita lupa bahwa orang tua juga manusia. Kita bisa salah, lelah, dan kecewa. Tapi tak berarti kita gagal. Mungkin, anak yang belum berubah adalah jalan bagi kita untuk terus memperbaiki diri dan memperkuat sabar.

Kesimpulan: Jalanan Tenang Mengarah ke Tuhan

Pada akhirnya, semua kami akan kembali kepada Tuhan. Sendiri-sendiri. Menghadapkan diri dengan perbuatan masing-masing. Oleh karena itu, mari kita tetap melangkah dalam jalur yang baik — walaupun ada kalanya sepi, dan bukan berarti hasil pasti dapat dilihat langsung.

Dan siapapun yang mensucikan dirinya, sebenarnya dia mensucikan diri demi kebaikannya sendiri. Sedangkan tempat akhir dari semua itu hanyalah kepada Allah.

(QS. Fatir: 18)

Ayo tetap menanam, walaupun belum memetik hasilnya. Ayo selalu memberi nasihat, bahkan jika dampaknya tidak langsung kelihatan. Karena tugasmu bukanlah untuk merombak dunia ini. Tetapi jadilah sebagian dari sinar yang menyinariinya — paling sedikit dalam lingkunganmu sendiri.

Penulis: Merza Gamal (Mantan Aktif Sosialita)

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *