Banyak individu yang terlihat “berubah warna” ketika berada dalam situasi sosial sebenarnya tumbuh di sebuah lingkungan keluarga dengan kestabilan yang kurang. Mungkin disebabkan oleh kedua orang tuanya kerap berselisih, peraturan rumahnya tak menentu, atau perilaku orangtuanya yang susah untuk diprediksi.
Ketika seorang anak hidup dalam ketidakpastian, strategi bertahan hidup alami adalah menjadi fleksibel.
Anak-anak diajarkan untuk “memahami” kondisi lingkungan sebelum melakukan sesuatu. Mereka mempelajari bagaimana menafsirkan ekspresi wajah bapaknya ketika ia kembali dari bekerja—apakah dia sedang kesal, letih, atau tenang. Dengan begitu, mereka mulai membentuk kemampuan berinteraksi secara social semenjak usia muda, karena ini merupakan strategi agar dapat bertahan hidup dan terhindar dari perselisihan.
Lama kelamaan, keterampilan ini berubah menjadi suatu kebiasaan dan ikut serta hingga masa dewasa.
2. Mengidap Kecenderungan Empati yang Luar Biasa
Salah satu penyebab pokok dari tingkah laku adaptif berlebihan adalah pendekatan pengasuhan yang tak menentu.
Sebagai contoh, hari ini anak mungkin mendapat pujian karena bertingkah gembira, tetapi esok harinya perilaku serupa malah akan disalahkan karena dianggap “terlalu ribut”.
Keadaan yang membingungkan ini mengajarkan anak-anak: “Harusnya saya memahami situasinya terlebih dahulu sebelum menyatakan siapa diriku.”
Inilah yang kemudian menjadi dasar dari fleksibilitas kepribadian di masa dewasa. Mereka menjadi mahir dalam memainkan berbagai peran karena terbiasa menghadapi ketidakpastian sejak kecil.
Akan tetapi, sisi kelam dari hal ini adalah — mereka mungkin akan menghadapi krisis identitas. Sebab selalu berusaha untuk menyatu dengan orang lain, mereka dapat merasa tidak dikenali dalam dirinya sendiri.
4. Pemaparan Terhadap Kebudayaan Beragam Sejak Usia Muda
Tidak setiap sifat adaptif muncul karena adanya trauma atau pengalaman buruk. Ada kalanya, mereka berkembang di lingkungan dengan keragaman budaya, sosial, atau geografis.
Anak-anak yang kerap berpindah sekolah, menetap di negara lain, atau bertumbuh dalam lingkungan keluarga dengan budaya bermacam-macam diajarkan sejak dini bahwa tiap grup memiliki nilai serta aturan masing-masing.
Sebagai contoh, di dalam rumah mereka perlu menggunakannya bahasa yang santun dan penuh rasa hormat. Namun, di tempat bermain, sebaliknya, mereka harus menjadi lebih alami untuk bisa diterima.
Mereka menyadari bahwa tak terdapat satu pendekatan punya hak paten, serta kebolehan berpindah dari satu metode ke lainnya-lah yang memungkinkan mereka merasa “nyaman dimana saja”.
Sayangnya, saat telah tumbuh menjadi dewasa, orang lain sering kali menilainya sebagai “hipokrit” atau “tidak konsisten”—meskipun sebetulnya mereka cuma menerapkan fleksibilitas dalam aspek budaya dan sosial yang sudah dikuasai semenjak masih anak-anak.
5. Cerita Penolakan Saat Dini Usia
Tolakannya—khususnya yang timbul pada tahap pertumbuhan—dapat menciptakan trauma psikologis yang berkepanjangan.
Anak-anak yang telah ditinggalkan oleh teman-temannya, dilupakan oleh keluarganya, atau terisolasi karena “unik” cenderung membangun cara-cara bertahan hidup: mencoba untuk menjadi seperti yang diharapkan orang lain.
Mereka menyadari bahwa bersikap sebagai diri sendiri bisa memicu penderitaan. Sebagai akibatnya, mereka menciptakan variasi karakteristik unik untuk tiap-tiap lingkungan sosial agar terhindar dari penolakan selanjutnya.
Pada usia dewasa, pendekatan ini mungkin tampak sebagai perilaku memuaskan orang lain dengan cara yang berlebihan, tetapi sebenarnya hal tersebut merupakan bentuk pertahanan pribadi.
6. Berperan Sebagai Pemelihara Keharmonisan di Rumah Tangga
Anak-anak yang kerap tertimpa dalam perselisihan keluarga—baik itu antara orangtua, kakak beradik, atau pihak keluarga lainnya—biasanya menjadi mediator atau “penyembuh” permusuhan tersebut.
Agar dapat melaksanakan tugas tersebut, mereka dituntut untuk:
Mengendurkan salah satu pihak tanpa menyinggung perasaan pihak yang lain.
Merubah intonasi, emosi, dan gerakan fisik.
Mengetahui kapan perlu berbicara dan kapan sebaiknya tetap diam.
Ketrampilan tersebut, yang dahulunya dimanfaatkan untuk menghasilkan perasaan aman di lingkungan rumah, telah bertransformasi menjadi suatu kapabilitas istimewa dalam memadu diri dengan dinamika masyarakat pada masa dewasa.
Sayangnya, mereka juga sering kali rela merelakan dirinya untuk kepuasan orang lain.
7. Kesedihan Yang Mendalam
Di antara berbagai alasan psikologis serta sejarah pengalaman masa kecil, elemen yang paling kerap mendorong terbentuknya kepribadian adaptif ialah rasa simpati yang mendalam.
Mereka mampu menangkap perasaan orang lain—bahkan sebelum mereka menyampaikannya secara verbal.
Keahlian ini mendorong mereka untuk beradaptasi, tidak sekadar karena paksaan, tetapi karena mereka sungguh-sungguh memperhatikan.
Mereka berupaya untuk tidak menyinggung perasaan siapun. Tujuan utama mereka adalah membuat setiap individu merasa terlindungi. Mereka bertujuan menjadi “kaca cermin” bagi lingkungan sekitarnya sehingga orang-orang merasakan pengertian daripada.
Namun layaknya kaca cermin, biasanya mereka tak menyadari wujud sejati diri mereka sendiri.
Banyak orang keliru mengartikan seseorang yang menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya. Mereka seringkali disebut sebagai tak otentik, terlampau peduli pada persepsi orang lain, atau malahan dikatakan kurang memiliki prinsip tetap.
Sebenarnya, dibelakang sifat adapturnya terdapat riwayat panjang pertarungan mental para psikolog.
Terdapat goresan, pembelajaran, dan wawasan hidup yang tersimpan. Mereka tidak bersifat manipulative — melainkan adaptif. Mereka bukan penuh kepura-puraan — tetapi sangat menyadari situasi sekitar.
Di tengah lingkungan yang selalu berkembang ini, sebenarnya keterampilan menyesuaikan diri secara sosial merupakan tingkat kecerdasan emosional yang paling tinggi.
Empati bukanlah suatu kekurangan. Justru ini merupakan kemampuan istimewa yang membantu orang untuk mendirikan ikatan emosional yang erat dan signifikan.
Adaptasi tidak berarti palsu. Ini merupakan ekspresi dari fleksibilitas psikologis dan sosial yang sangat baik.
Jangan cepat menilai orang lain. Bila seseorang mengubah tingkah laku bergantung pada lingkungan sekitar mereka, pertanyaklah: “Apa yang mendorong mereka untuk bertindak seperti itu?”
Di balik setiap “bunglon sosial”, terdapat seorang anak kecil yang dahulu diajarkan bahwa dunia tak selalu memberikan rasa aman bagi mereka yang ingin tetap menjadi diri sendiri.
Psikolog Carl Rogers sempat mengungkapkan:
Kejadian menarik terjadi saat aku menerima keadaan diriku sebagaimana adanya, baru kemudian aku bisa mengalami perubahan.
Banyak orang yang mengadaptasi sifat aslinya biasanya tengah melalui proses panjang untuk menyadari dan memaafkan identitas sejati mereka.
Dan saat mereka berhasil, dunia akan mengetahui tentang seseorang yang tak hanya bersikap fleksibel, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mencintai dan memahami orang lain dengan cara yang jarang dimiliki banyak orang.
Jadi ketika Anda menemui orang yang kelihatan “berbeda” di lain kesempatan, jangan buru-buru mencurigai mereka. Bisa saja, mereka tengah berusaha menjadi versi paling baik diri mereka — untuk Anda.
Apabila Anda menganggap bahwa tulisan ini merefleksikan pengalaman pribadi Anda atau orang yang dikenali, berilah tahu mereka. Sebab, semakin besar pemahaman kita, akan semakin mudah untuk saling tersambung. ***