Oleh: Yuriadi Ilmi SST Statistikus Muda Spesialis BPS Propinsi Kalimantan Selatan
geopolitikaidn
Baru-baru ini Bank Dunia menciptakan kehebohan dengan merilis laporan Macro Poverty Outlook-nya yang mengungkapkan bahwa lebih dari 60,3% penduduk Indonesia dikategorikan sebagai orang miskin menurut standar mereka.
Selanjutnya, mereka membandingkan tingkat kemiskinan penduduk dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. Ternyata, Indonesia berada pada urutan kedua sebagai negara dengan presentase orang miskin terbanyak, hanya dibelakangi oleh Laos yang memiliki angka 68,5 persen.
Perlu dicatat kembali bahwa Bank Dunia tidak menerbitkan angka untuk Myanmar dan Kamboja dikarenakan kurangnya ketersediaan data.
Publikasi ini tak ayal membuat heboh dunia maya, dari kalangan influencer, ekonom, akademisi dan sekelas Menko Perekonomian angkat bicara memberikan tanggapan.
Alasan utamanya adalah karena data yang diumumkan oleh Bank Dunia lebih dari 7 kali lipat dibandingkan dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai institusi resmi pemerintah.
Dalam publikasinya di berita resmi statistik; BPS menyatakan kemiskinan di Indonesia pada September 2024 “hanya” sebesar 8,57 persen.
Masyarakat awam yang disuguhi aneka konten dari influencer maupun berita dari media, tentu mulai bertanya, siapa yang benar dalam hal ini? Apakah mungkin BPS memanipulasi data agar pemerintah terlihat “baik dan berhasil” menurunkan angka kemiskinan?, Ataukah justru Bank Dunia yang “sembrono” dalam menggunakan standarnya?.
Adakah memang terjadi “tiba-tiba menjadi miskin” pada tingkat masif yang melibatkan lebih dari setengah penduduk negara ini?
Bagaimana Kemiskinan Dihitung ?
Dalam konteks Bank Dunia, organisasi tersebut belum pernah melakukan satu kali pun survei khusus untuk menilai tingkat kemiskinan di negera-negera berkembang seperti ASEAN dan Indonesia.
Maka, darimana asal-usul angka-angka yang mereka keluarkan? Selanjutnya di dalam laporan itu, disebutkan pula bahwa data yang dipakai sebenarnya berasal dari hasil survei Socio-Economic National Survey atau Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dikerjakan oleh Badan Pusat Statistik.
Menariknya, SUSENAS sebenarnya tidak dirancang secara spesifik sebagai alat ukur kemiskinan. Survei ini bertujuan utama untuk menghimpun data tentang aspek-aspek sosioekonomi keluarga di tingkat rumah tangga, meliputi pola konsumsi baik itu pangan maupun non-pangan.
Isinya terdiri beragam pertanyaan, mulai dari data diri sampai pemakaian metode kontrasepsi, bahkan juga termasuk detail mengenai perkawinan, perceraian, kelahiran, serta kematian.
Berikutnya di dalam kuesioner modul tersebut, terdapat detail tentang pengeluaran keluarga selama satu minggu terakhir untuk makanan dan minuman, serta pengeluaran mereka untuk setahun terakhir pada barang-barang seperti pakaian, moda transportasi, kegiatan rekreasi, sampai dengan biaya perumahan.
Dengan menggunakan data dari belanja rumah tangga, Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun garis kemiskinan untuk menetapkan jumlah keluarga yang termasuk dalam kategori miskin. Metode perhitungan oleh BPS tetap menjadi yang terbaik karena mempertimbangkan keragaman pola konsumsi warganya serta wilayah-wilayah dengan kondisi geografis yang sangat berbeda-beda di Indonesia.
Bank Dunia menggunakan metode tingkat kemiskinan untuk negara berkembang dengan penghasilan tengah ke atas, yang bisa disingkat menjadi batas kemiskinan di negara-negara “majunya” tersebut.
Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai salah satu negara dari golongan pendapatan tertentu, di mana pendapatannya mencapai 4.870 dolar AS per tahun, setara dengan kira-kira 6,5 juta rupiah per bulan per orang.
Sayangnya, posisi Indonesia cukup tidak nyaman karena berada di dekat sekali dengan batas bawah grup pendapatan tersebut. Hanya terpaut $354 AS saja dari ambang bawahnya, yang kurang lebih setara dengan itu.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan awal, standar yang diaplikasikan Bank Dunia pada angka kemiskinan di Indonesia boleh jadi terlalu optimistis. Hal ini dimaklumi karena mereka sendiri hanya menggunakan data sekunder dan tidak menggunakan standar yang proporsional bila dibandingkan pendekatan BPS yang mencakup keragaman pola konsumsi di tanah air.
Pengeluaran vs Pendapatan
Lantas mengapa BPS tidak merancang survei khusus untuk mengukur kemiskinan?, dengan kapabilitas dan kemampuan ahli statistik di sana tentu hal ini bukan sesuatu yang muskil. Ternyata masalah utamanya bukan dirancangan survei, melainkan pada kejujuran responden dalam menjawab.
Manusia secara naluriah akan lebih tertutup bila ditanyakan soal pendapatan, berbagai faktor mungkin jadi penyebabnya mulai dari takut kena pajak yang tinggi hingga takut dijadikan tempat berutang. Sehingga akan lebih mudah mendapatkan informasi mengenai apa saja pengeluarannya, baik untuk makanan maupun nonmakanan.
Kebiasaan belanja masyarakat di Indonesia pun bervariasi, dipengaruhi oleh aspek-aspek seperti etnisitas, tradisi serta kebudayaan sampai dengan wilayah geografis tempat mereka bertempat tinggal.
Untuk penduduk di daerah pesisir laut, mengonsumsi berbagai jenis Seafood pastilah bukanlah sesuatu yang istimewa ketimbang mereka yang bertempat tinggal di dataran tinggi atau gunung.
Bagi masyarakat Suku Banjar, menyantap hidangan gabus masak habang merupakan suatu kehormatan, sedangkan beberapa di antara Suku Bugis merasa kurang berminat untuk mencobanya.
Kenaikan ambang batas kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS mencakup representasi dari kebiasaan konsumsi spesifik tersebut di seluruh daerah, mulai dari skala nasional, provinsi sampai kabupaten atau kota.
Perubahan ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa semua kebiasaan pengeluaran masyarakat di berbagai daerah Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua, tercermin. Hal tersebut bertujuan bukannya sekadar mengambil data statistik dengan metode ambang batas 6,85 dolar AS sehari (PPP tahun 2017).
Kemiskinan Extrem Menuju Indonesia Emas
Dalam pidato Asta Cita kelima belas, Presiden Prabowo bertujuan untuk menghapus kemiskinan ekstrim selama dua tahun awal masa jabatannya. Semangat positif dari pemerintahan ini harus mendapat dukungan total dari semua lapisan masyarakat, khususnya di wilayah-wilayah dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi.
Nasionalmente, BPS melaporkan bahwa terdapat sebanyak 24,06 juta orang yang masih berstatus di bawah garis kemiskinan per September 2024. Angka tersebut melebihi jumlah total populasi pulau Sulawesi jika disatukan.
Jadi pekerjaan rumah untuk pemerintah mengentaskan kemiskinan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Angka kemiskinan ini pun masih di level makro, artinya gambaran secara umum di suatu negara, belum sampai pada tahap mikro yang mengukur kemiskinan lebih detail dan rigid.
Salah satu inovasi terbaru pemerintah yang patut ditunggu dalam pengentasan kemiskinan adalah penggunaan DTSEN atau data tunggal sosial ekonomi nasional.
Secara sederhana, DTSEN adalah basis data tunggal yang menjadi satu-satunya dasar berbagai program bantuan dan pengentasan kemiskinan oleh pemerintah dan stakeholder terkait. Sehingga peluang bantuan salah sasaran hingga tumpang tindih bisa diminimalisir.
Dikotomi Miskin dan Kaya
Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa antonim/lawan kata miskin adalah kaya. Pola pikir ini kadung menjadikan penilaian kabur pada keadaan lapangan, seolah-olah saat suatu keluarga/individu berada di atas garis kemiskinan 20 ribu sehari (nasional) otomatis menjadikan mereka selevel sultan.
Hal ini menjadi fatal saat digunakan menerjemahkan sebuah angka. Sehingga wajar tatkala banyak pernyataan keliru yang beredar di dunia maya sebagian malah dijadikan klikbait bagi oknum media besar dan mainstream.
Berita-berita dengan judul menyinggung semacam “Pendapatan Harian 20 Ribu Disebut Kekayaan”, serta variasinya “Masyarakat Indonesia Dihargai Sebagai Orang Kaya Jika Menghabiskan 20 Ribu Per Hari” sering kali menjadi sorotan utama dalam beberapa outlet informasi terkini. Bahkan, konten tersebut disebarkan pula oleh sejumlah pengaruh publik tanpa penafsiran atau eksplorasi tambahan lain dari sumber aslinya.
Tidak mengherankan jika angka kemiskinan menurut pemerintah dan institusi yang menyatakan menjadi topik perdebatan khususnya di kalangan netizen setiap bulannya.
Sudah waktunya berhenti bersitegang tentang standar apa yang dipakai untuk menilai kesenjangan ekonomi, dan mulai fokus dengan usaha maksimum dalam mengatasi masalah kemiskinan itu langsung.
Istilah tersebut kerap dibicarakan di beragam diskusi tentang kemiskinan, sejalan dengan pernyataan terkenal dari sahabat Rasululloh yang agung, Ali bin Abi Thalib, “Apabila kemiskinan adalah manusia, tentu saja aku akan menghilangkannya.”
(*)