Jakarta sudah tidak lagi jadi tujuan favorit untuk para migran. Daerah yang dahulunya dikunjungi dengan antusias—berharap merombak nasib atau hanya ingin membuktikan bahwa ibu kota dapat dijinakkan—sekarang mulai kehilangan daya tariknya sebagai lokasi tinggal.
Menurut informasi dari data BPS yang telah diproses
dexandra.online
, jumlah orang yang pindah ke Jakarta sejak 1995 semakin berkurang. Di sisi lain, tingkat migrasi keluar dari kota tersebut malah bertambah. Informasi ini didapatkan melalui data Sensus Penduduk (SP), yang dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali, dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), yang digelar tiap lima tahun satu kali.
Data terupdate yang disediakan oleh BPS tersedia di publikasi dengan judul
Hasil Survei Migrasi Indonesia dari Sensus Penduduk Panjang Bentukan Tahun 2020
Rilisnya terjadi pada tanggal 20 Juli 2023 kemarin. Sedangkan informasi tambahan tersedia di sumber-sumber publikasi yang beragam.
Data tersebut menggambarkan tren peningkatan baik untuk migrasi masuk maupun migrasi keluar setiap tahunnya. Recent migration atau migrasi risen adalah mereka yang telah pindah domisili dalam kurun lima tahun terakhir sebelum pelaksanaan sensus. Informasi ini bisa memberikan wawasan tentang tingkat mobilitas masyarakat selama periode tertentu serta pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah tersebut.
Tahun 1980, menurut data yang disebutkan, jumlah migran yang tiba di Jakarta mencapai 766.363 orang. Di sisi lain, jumlah migran yang pergi atau meninggalkan Jakarta tercatat sebanyak 382.326 orang. Selain itu, neto migrasi naik dengan selisih antara jumlah pendatang dan warga yang pindah keluar berjumlah positif yaitu 384.037 orang.
Pada tahun 1990, Jakarta mulai mengalami defisit dalam hal migrasi. Saat itu, jumlah pendatang ke Jakarta mencapai puncak sebanyak 833.029 jiwa. Tetapi, jumlah warga yang meninggalkan kota ini jauh lebih tinggi dengan angka 993.377 jiwa. Akibatnya, terjadi surplus negative atau neraca migrasinya adalah -160.348 jiwa.
Di tahun 2020, jumlah migran yang masuk naik menjadi sebanyak 212.454 orang. Di sisi lain, migran yang keluar meningkat mencapai 797.468 jiwa. Hal ini menandakan bahwa Jakarta mengalami penurunan populasi tertinggi dengan hilangnya sekitar 585.011 penduduk.
Apabila data
long form
Sensus 2020 lebih detail, menunjukkan bahwa daerah di Jakarta dengan tingkat keberangkatan tertinggi adalah Jakarta Selatan serta Jakarta Timur. Satu-satunya area yang mengalami peningkatan dalam hal migrasinya hanyalah Kepulauan Seribu.
Berdasarkan informasi tersebut, tampaknya daerah Jakarta Selatan mengalami peningkatan jumlah pendudik yang berkurang sebanyak 145.213 jiwa karena warganya yang keluar melebihi yang datang melalui migrasi. Demikian juga dengan Jakarta Timur yang kehilangan total 128.180 orang akibat hal serupa.
Bukan Hidupnya Di Jakarta Terus
Rois merupakan salah satu migran yang sedang mencari kesempatan di Jakarta. Lelaki muda berumur 26 tahun tersebut dilahirkan di Kerinci, Jambi. Kedua orangtuanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan dipindahkan ke Bengkulu. Sehingga, dari sekolah dasar sampai menengah atas ia tinggal di tempat itu. Hanya saja, ketika melanjutkan pendidikan tinggi baru-baru ini pindah ke Yogyakarta, lalu pada akhirnya hijrah ke Jakarta usai pandemi COVID-19 reda.
Meskipun Ibu Kota menyediakan berbagai fasilitas, Rois malah menjadi semakin percaya bahwa Jakarta tidak cocok baginya sebagai tempat tinggal tetap. Kekhawatirannya pun makin bertambah. Keadaan Jakarta yang sesak, dipadati polusi, serta kurangnya panorama alami, secara perlahan meredupkan ketenangan yang ia dambakan.
“Terkait fasilitas di Jakarta semuanya tersedia, berbeda dengan di Bengkulu maupun Kerinci. Namun sepertinya nanti akan kembali lagi ke daerah asal seperti Kerinci atau Bengkulu guna membangun usaha,” jelasnya kepada
dexandra.online
, Selasa (22/4).
Berdasarkan pengalaman tinggal di beberapa kota, Rois benar-benar menikmati perbedaan mencolok antara kehidupan di Jakarta dibandingkan dengan tempat asalnya yaitu Kerinci atau Bengkulu. Hal ini membuat dia sadar bahwa ia cenderung lebih sesuai dengan pola hidup yang damai dan sederhana.
Jakarta memang ramai. Saya tidak begitu menyukainya.
crowded
Terlalu dibanjiri orang. Polusinya sangat parah, sungguh-sungguh di tempat ini. Bandingin sama daerah rumah saya, Kerinci atau Bengkulu, lebih enak. Di situ alamnya masih leluasa, minimal bintang-bintang bisa keliatan,” katanya.
Situasi di Kerinci sangat tenang,
slow living
Dia menambahkan, “Saya memang ingin tetap tinggal di tempat ini, namun sudah terlalu sesak dan saya merasa tidak tahan lagi.”
Beberapa Berpindah ke Wilayah Pengamanan
Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno, mengatakan bahwa jumlah orang yang pindah ke Jakarta telah berkurang karena ada alternatif lain bagi mereka untuk tinggal di kawasan sekitar. Menurutnya, Jakarta hanyalah tujuan sementara untuk bekerja.
“Berdasarkan jumlah pengunjung, dapat disimpulkan bahwa mereka sebenarnya bukan penduduk tetap Jakarta melainkan berdomisili di kawasan pinggiran seperti Depok, Bekasi, atau Tangerang,” jelas Bang Doel, panggilannya yang akrab, ketika ditemui dalam istirahat acara Dekranasda pada hari Jumat (25/4).
Secara umum, Rano menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak pernah menghalangi para migran untuk datang dan tinggal di Jakarta. Yang terpenting adalah mereka harus mempunyai keterampilan yang handal. Bahkan dia menyatakan bahwa Jakarta sanggup menampung hingga 50 ribu buruh baru yang berasal dari berbagai wilayah.
“Menurut BPS, jumlah tenaga kerja bisa mencapai 15 ribu orang, namun kami menyatakan kesiapan hingga 50ribu, tetapi ternyata angkanya tidak sebanyak itu,” katanya.
Di Jakarta, banyak penduduk yang memutuskan untuk meninggalkan ibu kota lebih cenderung memilih Jawa Barat sebagai tujuan utama mereka. Menurut statistik BPS yang serupa, terdapat sebanyak 339.634 individu yang akhirnya menetap di wilayah tersebut. Disusul oleh 229.939 jiwa yang bermigrasi ke Jawa Tengah serta 103.105 orang lainnya yang menentukan Banten menjadi lokasi tinggal permanen bagi mereka.
Berdasarkan publikasi BPS berjudul
Statistik Komuter Jabodetabek 2023
, terdapat 1,5 juta penduduk dari wilayah Bodetabek yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang setiap harinya menuju ke Jakarta baik untuk bekerja, belajar di sekolah, ataupun mengejar studi tinggi.
Informasi tersebut sepertinya mengkonfirmasi bahwa bekerja di Jakarta tidak selalu harus tinggal di Ibukota. Setiap pendatang dapat berkarier di Jakarta, tetapi belum tentu setiap orang yang bekerja di kota itu pasti bermukim di sana.
Kepala Lembaga Demografi FEB UI, I Dewa Gede Karma Wisana, setuju dengan pandangan tersebut. Menurut dia, Jakarta tidak sepenuhnya dikosongkan. Orang-orang yang pindah dari Jakarta serta mereka yang berasal dari daerah lain dan berencana bekerja di Jakarta hanya memindahkan lokasi hunian mereka ke wilayah-wilayah seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).
Dewa menyatakan bahwa langkah tersebut diambil sebagai pilihan untuk menemukan tempat tinggal dengan harga lebih murah serta lingkungan yang lebih baik. Apalagi, biaya kehidupan di Jakarta jauh lebih mahal dibandingkan dengan kawasan sekitarnya.
“Fenomena yang disebut
urban sprawl
dan
commuter belt
Membentuk alur perpindahan populasi seperti yang ada sekarang yakni “menetap di pinggiran kota sementara bekerja di Jakarta.” Banyak orang baru datang berusaha menemukan pekerjaan di Jakarta dikarenakan hingga masa mendatang, Kota tersebut akan tetap menjadi titik sentral aktivitas ekonomi,” ungkap Dewa kepada
dexandra.online
, Kamis (24/4).
Dewa menegaskan bahwa ketimpangan dalam kondisi ekonomi antar kelompok masyarakat turut berkontribusi pada kurangnya akses terhadap layanan kesehatan. Selain itu, mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik dan aman pun memerlukan dana signifikan. Sementara itu, bahaya lingkungan hidup senantiasa mengancam warga Jakarta.
Terkait dengan kondisi lingkungan, tingkat pencemaran udara yang signifikan bersamaan dengan bahaya bencana seperti banjir dan subsiden turut mengancam warga jakarta. Selain itu, perubahan iklim seiring fenomena pemanasan global memiliki potensi untuk menciptakan dampak ekstrem berupa ‘panas’ yang dikenal sebagai \”
urban heat island effect
“Inilah yang menyebabkan kualitas hidup menjadi tidak setara dengan biaya serta beban sosio-ekonomi yang hadir,” tegasnya.
Lebih jauh lagi, bagi mereka yang ingin tinggal di area Jakarta dengan berbagai kesulitannya, komunitas dari kalangan menengah ke bawah cenderung lebih rawan terdampak.
“Dengan jelas dapat dilihat bahwa Jakarta menjadi semakin menyulitkan untuk dihuni, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Di luar pertimbangan ekonomi, aspek-aspek seperti struktur, ekologi, serta sosial turut berkontribusi pada kesulitan hidup di Jakarta,” ungkap Dewa.