
Di sudut sunyi sebuah rumah mungil yang hampir tak tersentuh cahaya matahari, seorang perempuan bernama Mutiara yang akrab disapa Muti menemani seorang anak dengan tubuh mungil namun menanggung beban yang berat. Muti bukan sekadar perawat, dia adalah seorang perawat paliatif.

Patialif merupakan perawatan berfokus untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit serius atau kronis, terutama yang tidak dapat disembuhkan seperti penyakit kanker dan HIV.

Sosoknya seolah menjadi saksi dari kehidupan yang melambat menuju keabadian. Dia hadir bukan untuk menyembuhkan tetapi juga untuk memastikan setiap detik yang tersisa dalam hidup pasiennya tidak diisi oleh derita.

Sejak bergabung dengan Yayasan Rumah Rachel (Rachel House) pada 2021, Muti telah menjadi pelayan jiwa bagi anak-anak dengan penyakit yang mengancam nyawa. Meski sempat mundur sejenak karena buah hatinya jatuh sakit, namun cinta dan panggilan hidup membawanya kembali di akhir 2024. Dalam ruang-ruang sunyi ia hadir bukan hanya membawa obat tapi juga kehangatan, tawa, bahkan obrolan sederhana yang membuat pasiennya merasa utuh sebagai manusia, bukan sekadar tubuh yang dirawat.

Baginya paliatif adalah seni menghadirkan kenyamanan di tengah luka. Dia mendengar lebih banyak dari yang terucap serta meraba gejolak batin yang tak tampak di layar monitor. Dia paham tidak semua nyeri bisa disuntikkan analgesik melainkan bisa disembuhkan oleh kehadiran, empati, dan kepercayaan yang tumbuh perlahan.

Pasiennya tidak takut meninggal dunia, mereka hanya takut meninggalkan ibu yang akan sendirian, adik yang tak punya teman bermain, atau merasa bersalah karena tak kunjung sembuh setelah semua biaya dikorbankan.

Selain Muti ada juga Tyas yang memilih untuk tidak menempuh jalur keperawatan pada umumnya dalam mengelola pasien di rumah sakit dengan waktu yang terbatas dan cenderung formal. Tyas memilih menjadi peran yang dituntut lebih dari sekadar pengetahuan medis, tetapi juga hati yang lapang dan tangan yang siap menggenggam erat dalam detik-detik terakhir kehidupan seseorang. Bagi Tyas, perawat paliatif bukan hanya tentang mendengarkan keluhan tapi juga mendengarkan keheningan. Tidak hanya mengobati rasa sakit tapi juga merawat harapan.

Setiap kunjungannya ke pasien bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah perjumpaan batin. Anak-anak yang dia rawat bukan hanya sekadar pasien melainkan teman kecil yang mengajarkannya makna menerima dan mencintai tanpa syarat. Meskipun tubuh mereka lemah karena kanker atau HIV, senyuman anak-anak itu tetap menjadi cahaya kecil yang melawan gelapnya duka.

Tyas tahu hidup mereka mungkin tidak panjang tapi bisa tetap bermakna. Maka dia hadir sepenuhnya untuk bermain, tertawa, menangis, bahkan menyuapi cokelat kesukaan sang anak hanya untuk menyaksikan matanya berbinar.

Untuk memelihara kedamaian jiwa, Muti dan Tyas memiliki rutinitas singkat berdurasi tiga menit di mana mereka melaksanakan meditasi sebelum memulai pekerjaan. Dalam jeda hening tersebut, mereka menggunakan waktu untuk membersihkan pikiran dan menyegarkan kembali perasaan mereka. Selain itu, mereka juga berbagi pengalaman emosi dengan rekannya-rekanya sebagai tenaga perawat paliatif.

Di alam semesta yang kerap mengabaikan nyawa-nyawa yang akan lenyap, mereka datang sebagai titik-titik terang yang selalu bercahaya. Medali bukan tujuan utama bagi mereka; mereka hanya mengejar harapan agar di penghujung hari, tiada roh-roh yang bertahan dalam kesendirian. Kehidupan meskipun pendek masih mampu membawa makna, pesona dan kelengkapan.
