Volatilitas Kebijakan: Menjelajahi Masa Depan Energi di Indonesia

Lagi-lagi kebijakan energi di republik ini menunjukkan watak asimetrisnya. Setelah sengkarut kebijakan LPG bersubsidi, endemi impor dan korupsi minyak, serta korporatisasi organisasi sipil dan pendidikan, berbagai peristiwa tidak biasa ini menyisakan pertanyaan mendasar: bagaimana masa depan energi kita?

Padahal, berbagai kisruh yang terjadi telah menimbulkan implikasi diferensial, yang berdampak nyata pada lemahnya pembangunan sektor energi. Indonesia terjebak pada kegagalan dalam mewujudkan ketahanan energi yang optimal, alih-alih menuju negara yang mandiri dan berdaulat di sektor energi. Kondisi ini membuat rencana besar Presiden Prabowo dalam mewujudkan kemandirian energi menemukan jalan yang berliku. Salah satunya tercermin pada belum terealisasinya komitmen pengembangan Blok Masela yang telah ditandatangani sejak 1998 silam.

Rencana pengelolaan gas alam yang telah sejak lama dikaji dan akhirnya kandas, berubah, dan belum juga berkepastian membuktikan kebijakan kita berwajah multi paradoks: tertutup (

not transparent

), tidak berkepastian (

uncertainty

), dan tidak berkelanjutan (

unsustainable

). Volatilitas yang berulang ini pada akhirnya menjadi preseden buruk bagi, tidak saja iklim bisnis, namun strategi pengelolaan energi secara luas. Sejatinya, kebijakan energi membutuhkan soliditas dan konsistensi di antara pemangku kebijakannya. Hal ini bukan saja karena industri ini berisiko dan memiliki sensitivitas tinggi, namun juga berlandas pada fakta semakin menipisnya cadangan energi nasional.

Karakter sumber daya migas yang tidak terbarukan menuntut kita untuk merencanakan dengan matang penggunaan kekayaan alam ini. Regulasi berkepastian dan disiplin kebijakan adalah suatu keniscayaan. Pola sayembara pencarian ladang migas baru oleh calon investor sebelum kemudian negara mengonstruksinya ke dalam perjanjian bagi hasil menuntut kita untuk sangat berhati-hati dalam memanfaatkan cadangan migas baru tersebut.


Kepastian Kebijakan

Pemerintah dihadapkan pada tantangan mendasar, yakni langkah nyata penataan kelembagaan sektor energi. Hal ini penting agar berbagai paket proyek energi yang bernilai triliunan tidak mengalami kebocoran sehingga menimbulkan ekses yang merugikan keuangan negara. Tanpa didukung pranata institusional yang baik, berbagai proyek ini hanya akan menjadi arena bancakan dan menumbuh suburkan budaya kleptokrasi, yakni bersenyawanya kuasa dan bisnis tanpa aturan main yang terang dan tegas. Sejarah juga yang membuktikan bahwa kleptokrasi inilah yang menjadi penanggung jawab sepenuhnya krisis multidimensional yang hingga kini masih mendera Indonesia.

Menjadi soal pula ketika sengkarut regulasi ini tidak saja terjadi pada level peraturan hukum, melainkan juga peraturan kebijakan (

beleid

) yang memutuskan secara teknis langkah pengelolaan kekayaaan alam. Padahal, kepastian hukum merupakan prasyarat untuk menciptakan kontrak migas yang stabil guna mendapatkan hasil yang optimal. Di sinilah letak masalahnya, kelembagaan migas kita mengalami paradoks internal. Paradoks yang telah terjadi di sepanjang sejarah pengelolaan migas di republik ini.

Besarnya daya dukung migas dalam menopang ekonomi dan industri nasional berimplikasi pada perlunya jaminan keberlanjutan sumber daya ini pada dua hal: terjaminnya pasokan energi dan keberlanjutan sumber daya itu sendiri. Dalam kerangka ini, aktivitas eksplorasi dan pencarian cadangan migas baru perlu terus dilanjutkan dan efisiensi pengelolaan migas berlangsung (

existing

) perlu ditingkatkan. Sebagai industri padat modal dan berisiko tinggi, relasi mutualis pemerintah dan kontraktor perlu diikuti dengan komitmen penuh pihak terlibat.

Oleh karena itu, berbagai paradoks kelembagaan, baik dalam tingkat

beleid

maupun institusional sebagaimana preseden Blok Masela harus dimitigasi. Jika tidak, keberlanjutan strukturasi asimetrik ini hanya akan melahirkan antipati dan ekspektasi negatif pelaku usaha, yang ujung-ujungnya merugikan kita sendiri sebagai negara penguasa sumber daya. Di satu sisi, SKK Migas (waktu itu BP Migas) faktanya tidak cukup kompeten dalam melakukan kajian evaluasi dan rencana pengembangan (

plan of development

) Blok Masela sebagaimana komitmennya di tahun 2008.

Sementara di sisi yang lain, klaim kewenangan atau lebih tepatnya delegitimasi kelembagaan pengelola Migas tidak kunjung terselesaikan. Payung hukum otoritas hulu migas (SKK Migas) masih berupa peraturan presiden. Padahal, sebagai sektor strategis, industri hulu migas membutuhkan kepastian legislasi dalam jangka panjang.

Mandeknya revisi UU Migas menjadi wujud nyata dari volatilitas kebijakan energi, khususnya dalam konteks legislasi. Maka tidak aneh jika disfungsi kelembagaan ini berakar dari lemahnya dasar hukum yang memayunginya. Belum lagi jika melihat rezim fiskal migas yang masih tumpang tindih antara kontrak bagi hasil (KBH)

cost recovery

dan

gross split

. Ini adalah pekerjaan besar yang mesti dibereskan.

Dalam riset

PricewaterhouseCoopers

(2024) terkait persepsi pelaku migas di Indonesia, keberlanjutan investasi migas sangat bergantung pada adanya kebijakan solid dan jangka panjang, serta konsistensi dalam menjalankan komitmen tersebut. Di era berakhirnya kemudahan migas ini, perlu adanya insentif terutama dalam meningkatkan aktivitas eksplorasi lepas pantai (

offshore

) terutama di kawasan timur Indonesia. Dalam konteks tersebut, para pelaku migas berpandangan bahwa harmonisasi berkelanjutan kebijakan lintasektoral dan kejelasan aturan dan persyaratan perpanjangan kontrak bagi hasil menjadi faktorial determinan industri migas nasional.

Survei persepsi ini juga menandaskan bahwa kesulitan eksplorasi akan semakin meningkat sehingga industri migas akan semakin efisien dan kompetitif. Meskipun relatif berbiaya tinggi, pengeboran lepas pantai sejatinya semakin murah. Bagi Indonesia, fakta ini sekaligus menyelip pesan agar adaptif dan fleksibel dalam pengelolaan kekayaan migasnya. Dengan intervensi teknologi canggih dan peningkatan efisiensi, biaya pengeboran lepas pantai dapat ditekan, sekaligus mengurangi emisi selama proses ekstraksi. Bahkan, hal ini berdampak besar pada geopolitik global dan menjadi sumber krusial bagi negara-negara non-OPEC (

Financial Times

, 2024).

Dalam konteks inilah dibutuhkan kebijakan energi yang berkepastian dan berkelanjutan guna menopang ketersediaan sumber daya fosil jangka panjang. Revisi UU Migas, termasuk menata kembali otoritas hulu dan rezim fiskal migas, harus dilakukan secepatnya. Pemerintah perlu terus memperbarui dokumen perencanaan dan pengelolaan energi, dan terpenting konsisten dalam menjalankan kebijakan yang diambil. Sebab, keterlambatan bahkan pengabaian terhadap aspek legislasi ini hanya memunculkan sumber suplisi baru, yakni perilaku bancakan sebagai sisi gelap sektor energi.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *