Dexa
– Harga emas global mencapai puncak tertingginya dalam sejarah dengan harga USD 3.500,05 per troy ons atau kira-kira senilai Rp 58,8 juta (dengan kurs pertukaran Rp 16.800 untuk satu dolar AS), namun kemudian mengalami penurunan melebihi 1% pada hari Selasa (22/4) sore waktu lokal.
Berdasarkan laporan Reuters dan BullionVault pada hari Rabu (23/4), harga emas turun setelah Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengungkapkan adanya potensi pengurangan tensin perdagangan antara AS dan Cina.
Hal ini memicu euforia di pasar saham, penguatan dolar AS, dan penurunan minat terhadap aset safe haven seperti emas.
“Ketika Bessent menyebutkan peluang penurunan perang dagang, itu menjadi titik di mana emas mulai dijual,” kata Bob Haberkorn, seorang analis tingkat lanjutan dari RJO Futures.
Berdasarkan data, indeks dolar Amerika Serikat naik sebesar 0,7%, menjadikan harga emas lebih tinggi untuk pemegang mata uang asing. Sementara itu, saham di bursa Amerika juga meningkat lebih dari 2% berkat adanya optimisme terkait dengan prospek negosiasi tariff yang mungkin akan dilakukan secara lebih fleksibel.
Emas spot yang tadinya meningkat 2,2% menjadi US$ 3.500 per troy ounces, kemudian jatuh menjadi US$ 3.372,68, sedangkan kontrak berjangka emas menyelesaikan perdagangan dengan penurunan 0,2% di level US$ 3.419,40.
Walaupun begitu, harga emas sudah naik 29% sejak awal tahun ini dan meraih rekor tertingginya untuk kali kedua puluh delapan di seluruh tahun 2025. Menurut perkiraan bank investasi JPMorgan, emas diperkirakan bakal menembus angka US$4.000 pada tahun mendatang, didorong oleh peningkatan ancaman resesi serta tekanan dagang global yang tetap tinggi.
Pada saat yang sama, di Tiongkok, harga logam mulia naik hingga ke level USD 3.535 per onsuk, sekaligus memecahkan rekor untuk bulan kesembilan beruntun di pasar Shanghai. Meskipun demikian, pihak berwenang Tiongkok malah menerbitkan peringatan tentang aktivitas trading yang dinilai tidak rasional.
Bank of China justru meningkatkan ambang belakang pembelian emas terendah bagi pelanggan perorangan menjadi 850 yuan, yang setara dengan sekitar seperempat dari gaji minimum bulanan di Shanghai.
“Kenaikan harga emas sekarang ini terjadi lebih disebabkan oleh panic di pasaran dan ketidaktentuan, daripada dasar-dasar ekonomi yang solid,” ujar Wu Zijie, salah satu pakar logam mulia dari Jinrui Futures Co., seperti dilansir melalui saluran investasi China STCN.
Penyebab lain yang mendorong harga emas sebelumnya adalah ketegangan antara Presiden AS Donald Trump dengan Ketua The Fed Jerome Powell. Trump kembali mengkritik Powell dan mengatakan bahwa pemecatan Powell tidak bisa datang lebih cepat.
Trump menganggap ekonomi Amerika Serikat berpotensi memasuki resesi apabila Powell tak cepat mengurangi tingkat suku bunganya. Meskipun demikian, Powell masih bersikeras menerapkan pendekatan yang didasarkan pada data.
Komentar tajam Trump menimbulkan ketakutan di kalangan pasar tentang kemerdekaan bank sentral, sehingga semakin meningkatkan daya tarik emas sebagai sarana perlindungan terhadap risiko.
Walaupun ada penyesuaian, nilai RSI untuk emas sekarang mencapai 74, yang artinya logam mulia tersebut sedang dalam keadaan overbought. Meski demikian, lembaga finansial seperti JPMorgan masih percaya bahwa pergerakan harga emas akan terus meningkat.
Sebaliknya, para ahli prediksi bahwa koreksi ini hanyalah istirahat singkat sebelum emas mencoba level yang lebih tinggi lagi, terlebih jika ketegangan geopolitik dan ancaman inflasi tetap bertahan.
Mengingat pasar yang masih khawatir tentang kebijakan suku bunga, tariff perdagangan, serta perubahan geopolitik, emas tetap menjadi pilihan utama saat ada ketidakstabilan. Sebagaimana ungkapan dalam investasi tersebut: ketika seluruh dunia cemas, emaslah yang berpendar.