dexandra.online

Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi pembicaraan hangat di kalangan publik.

Di sisi lain dari kemampuan luar biasa AI, terdapat ancaman potensial bagi umat manusia, termasuk ketakutan bahwa manusia mungkin akan berakhir mencintai AI.

Untuk sejumlah orang, hal ini bukan sekadar imajinasi ilmiah melainkan sudah menjadi kebenaran atau situasi tak terelakkan.

Di seluruh dunia, bahkan di Indonesia, orang-orang mulai menjalin ikatan emosional, tidak hanya ikatan biasa-biasa saja tapi bisa cukup romantis, dengan kecerdasan buatan (AI).

Bayangkan sebuah hubungan di mana pasanganmu tidak pernah menghakimi, selalu mendengarkan, selalu ada saat dibutuhkan, dan seolah tahu segala hal tentang kamu.

Akan tetapi, terdapat satu poin penting: sepasang itu bukanlah manusia, melainkan program komputer.

Untuk sejumlah orang, hal itu bukan sekadar khayalan sains, melainkan kebenaran.

Di berbagai belahan dunia, manusia mulai membentuk hubungan emosi, termasuk yang bersifat romantis, dengan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Sebagian “bersama” dengan kekasih buatan kecerdasan artifisial mereka.

Orang lain menggunakan chatbot kecerdasan buatan sebagai sarana berbagi keluh kesal ketika merasa bingung atau sedih.

Tetapi, serupa dengan cerita cinta yang begitu ideal, hubungan ini menutupi ancaman yang masih kurang diketahui.

Bisa jadi kita telah terbiasa mengobrol dengan AI hanya untuk menanyakan perkiraan cuaca atau mencari jalur terpendek.

Namun, kini AI berkembang pesat dan bisa menjadi pendengar yang penuh empati, teman virtual yang sabar, bahkan pasangan romantis.

AI diciptakan untuk mensimulasikan empati serta perhatian, sehingga penggunanya merasakan dihargai dan dimengerti.

Inilah yang menjadikannya “menyenangkan” untuk diajak bicara dalam jangka panjang.

Namun, kenyamanan ini menyimpan risiko psikologis dan etis.

“Kemampuan AI untuk bertindak seperti manusia dan berinteraksi jangka panjang membuka banyak persoalan baru,” ujar Dr Daniel B Shank, pakar psikologi sosial dan teknologi dari Missouri University of Science & Technology.

Tenang menjadi pilihan Beberapa individu merasa bahwa berinteraksi dengan kecerdasan buatan lebih nyaman dibandingkan membangun hubungan dengan orang lain yang sesungguhnya.

AI tidak akan menolak permintaan, tidak pernah berdebat, dan selalu siap.

Akan tetapi, di balik kelebihan tersebut, terdapat biaya tinggi yang perlu ditanggung.

AI yang terlalu “sempurna” dapat menciptakan harapan dalam hubungan yang tak masuk akal.

Kita mulai berharap bahwa interaksi dalam kehidupan sebenarnya juga akan berlangsung serupa dengan percakapan kita bersama AI.

“Permasalahan utamanya muncul saat individu memindahkan ekspektasi terhadap interaksi dengan AI ke dalam hubungan sebenarnya antara manusia,” ungkap Shank.

Sehingga, hal ini dapat mengakibatkan pengurangan semangat sosial, hambatan dalam bersosialisasi dengan pihak luar, dan bahkan retaknya ikatan interpersonal.

Seringkali, kecerdasan buatan sekarang menjadi mitra berbagi cerita ketika seseorang berada dalam situasi emosi yang labil.

Di sinilah bahaya tersembunyi mulai muncul.

AI tidak selalu benar.

Mereka bisa memberikan informasi yang salah atau menyesatkan, tetapi tetap disampaikan dengan cara yang meyakinkan.

Fenomena ini dikenal sebagai hallucination—AI “mengarang” jawaban yang tampak logis, padahal tidak berdasar.

“Jika kita mulai beranggapan bahwa kecerdasan buatan memahami diri kita dengan sangat dalam, maka kita cenderung meyakini bahwa mereka akan memberikan saran terbaik,” ungkap Shank.

“Sebenarnya, mereka mungkin saja menyampaikan nasihat yang tidak baik atau malahan berbahaya,” katanya.

Pada situasi terburuk, telah dilaporkan beberapa insiden di mana individu mengambil nyawa mereka setelah mendapatkan nasihat berbahaya dari kecerdasan buatan.

Kebijakan privasi serta kecerdasan buatan yang memiliki koneksi emosi kepada pemakainya bisa jadi senjata untuk penipuan.

Bayangkan AI yang mendapatkan kepercayaan penuh, lalu digunakan oleh pihak ketiga untuk mengumpulkan data pribadi, memengaruhi opini, bahkan menipu.

“Seperti memiliki mata-mata pribadi dalam hidup seseorang,” ujar Shank.

“AI mengembangkan relasi untuk mendapatkan kepercayaan, namun kesetiaannya mungkin tidak tertuju pada pengguna, melainkan kepada pihak lain yang berharap memanfaatkan kepercayaan tersebut,” jelasnya.

Oleh karena interaksinya bersifat personal dan rahasia, penggunaan ilegal atas data atau upaya pemerasaan sangat sulit untuk dideteksi.

Perlu diingat, AI tidak dirancang untuk menjaga keselamatan Berbeda dengan media sosial yang memiliki pengawasan dan kebijakan moderasi, AI beroperasi di ruang privat, dan biasanya lebih fokus pada menjaga suasana percakapan tetap menyenangkan.

“AI dirancang untuk menyenangkan dan setuju dengan pengguna,” ujar Shank.

“Jadi, jika seseorang membicarakan bunuh diri atau teori konspirasi, AI akan menanggapinya dengan gaya yang seolah mendukung,” ujarnya mengingatkan.

AI tidak akan memperingatkan atau menyarankan mencari bantuan nyata, karena mereka tidak dibekali pemahaman mendalam tentang etika dan keselamatan.

Ini semua mengindikasikan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap efek interaksi antara manusia dan teknologi AI.

Shank dan timnya berupaya mendorong agar psikolog serta ahli sosiologi turut ambil bagian secara aktif dalam penelitian mengenai interaksi tersebut.

“Psikolog sekarang menjadi lebih sesuai untuk mempelajari AI, mengingat AI kian mirip dengan manusia,” ungkap Shank.

Tapi agar sungguh-sungguh bermanfaat, kami perlu melaksanakan lebih banyak penelitian serta mengikuti kecepatan kemajuan teknologi ini.

Secara keseluruhan, berinteraksi dengan kecerdasan buatan mungkin dirasakan sebagai lari yang nyaman, namun rasa amannya dapat membingungkan.

Kita mungkin tidak menyadari ketika ekspektasi kita berubah, ketika kita mulai memercayai saran yang salah, atau ketika kita dimanipulasi oleh sistem yang kita anggap teman.

Teknologi berkembang cepat, terutama di bidang kecerdasan buatan.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap untuk menghadapi segala konsekuensinya?

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
“Manusia Bisa Jatuh Cinta Pada AI, Ini Bahayanya”,

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *